MAKALAH
USHUL FIQH
LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas ushul fiqh
Dosen Pengampu : Drs.H.Abd.Malik
Usman, M.SI

Disusun :
1.
Najiba Rahmawati (1440111)
2.
M. Harisul (1440112)
3.
Afrida Zulia
Fatimah (1440113)
4.
Umi Maslakhah (1440114)
PAI/Kelas C
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagaimana
halnya sejarah pada umumnya, sejarah peradilan islam adalah sebuah kajian yang
sangat penting dilakukan untuk melihat jejak-jejak masa lalu tentang
praktik-praktik yang dilakukan oleh umat islam dalam bidang peradilan sejak
masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Bagaimana ajaran dan hukum agama (Islam)
ditegakkan, dan bagaimana para penegak hukum dimasa lalu menjalankan amanah
yang dipikulkan kepada mereka,adalah kajian yang tidak boleh dilengahkan, demi
mencapai kemaslahatan dimasa datang, baik didunia maupun diakhirat.
Pada
masa Rasulullah SAW,demikian pula masa Khulafa’ al Rasyidin, atau Dinasti Bani
Umayyah, maupun Dinasti Abbasiyah, peradilan merupakan sebuah sistem yang
mencakup tidak saja proses peradilan, tetapi juga mencakup lembaga-lembaga lain
yang saling mendukung. Dengan demikian,selain Peradilan Agama, di Indonesia
terdapat lembaga-lembaga yang mengeluarkan fatwa terkait dengan hukum Islam.
Lembaga-lembaga tersebut tidak bersifat mandiri, karena merupakan bagian dari
organisasi sosial/kemasyarakatan Islam yang ada di Indonesia. Oleh karena itu,
metode ijtihad dan produk fatwanya dipengaruhi oleh corak khusus masing-masing
organisasi yang menaunginya.
Dalam
makalah ini,akan dikemukakan lembaga-lembaga hukum Islam yang ada di Indonesia
serta metode ijtihad yang digunakannya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah peradilan Islam di Indonesia?
2.
Apa saja
lembaga-lembaga hukum Islam di Indonesia?
3.
Apakah
dasar-dasar yang digunakan lembaga-lembaga itu dalam mengistinbathkan suatu
hukum?
4.
Bagaimana metode
pengambilan hukum dalam lembaga-lembaga tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lembaga Peradilan Islam di Indonesia
1.
Sejarah
Peradilan Islam di Indonesia
Peradilan agama di Indonesia dalam
bentuk yang dikenal sekarang ini merupakan mata rantai yang tidak terputus dari
sejarah masuknya Islam ke nusantara ini. Pada abad ke-7 M, Islam telah masuk ke
Indonesia dan telah dianut oleh sebagian orang Indonesia. Penerapan hukum Islam
bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah namun juga mengenai muamalat,
munakahat dan uqubat (jinayah/hudud). Dengan adanya penerapan hukum Islam dalam
beberapa hal diatas juga telah ada dan selalu ada pegawai khusus yang mempunyai
keahlian dalam hukum Islam di setiap daerah untuk menjalankan sistem peradilan.[1]
Penerapan hukum islam di Indonesia
sebelum datangnya pemerintah kolonial disepakati para ahli terbagi menjai tiga
periode, yaitu periode Tahkim, periode Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi, periode
Tauliah.
·
Periode Tahkim
Perkembangan hukum dan peradilan Islam
pada masa kerajaan dapat dilihat dalam sejarah kehidupan kerajaan-kerajaan
Islam di nusantara. Di sanalah Islam ditanamkan, yang kemudian membawa pengaruh
kepada masyarakatnya. Masing-masing kerajaan Islam ternyata memiliki model yang
khas dalam Islamisasi wilayahnya. Perbedaan model Islmisasi itulah yang
kemudian berakibat pada perbedaan warna dan corak hukum Islam yang dianutnya.
Pada awal masa Islam datang ke
Indonesia, komunitas Islam sangat sedikit dan pemeluk Islam masih belum
mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan hukum Islam. Bila timbul
permasalahan, mereka menunjuk seseorang yang dipandang ahli untuk
menyelesaikannya. Apa pun keputusan yang akan dijatuhkan oleh orang yang
ditunjuk itu keduanya harus taat untuk mematuhinya. Cara seperti itulah yang
disebut “tahkim”. Berkahkim seperti ini dapat juga dilaksanakan dalam hal
selain sengketa, seperti penyerahan pelaksanaan akad nikah dari wanita yang
tidak mempunyai wali.[2]
Orang ditujuk sebagi hakim itu disebut
muhakam yang bertugas untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul
diantara mereka. Pada awal datangnya Islam ke Indonesia, muhakam ini adalah
orang yang menguasai ilmu pengetahuan secara luas yang dalam kehidupan
sehari-hari disebut Ulama.[3]
·
Periode Ahl
al-Halli wa al-‘Aqdi
Setelah kelompok masyarakat islam
terbentuk dan mampu mengatur tata kehidupan sendiri, pelaksanaan kekuasaan
kehakiman dilaksanakan dengan jalam mengangkat Ahl al-Haf wa al-Aqdi. Yaitu
orang-orang terpecaya dan luas pengetahuannya untuk menjadi sesepuh masyarakat.
Abdul Manan memberikan definisi Ahl al-Hal wa al-‘Aqdi adalah pemimpin
masyarakat yang diikuti dan dipercayai oleh umat, dapat diterima oleh semua
pihak dengan ikhlas hati, pihak istiqamah, bertakwa, adil bijaksana, serta
memiliki semangat untuk bekerja demi kepentingan umum.[4]
Selanjutnya Ahl al-Hal wa al-‘Aqdi mengangkat para hakim untuk menyelesaikan
segala sengketa yang ada di masyarakat. Penunjukan ini dilakukan atas dasar
musyawarah dan kesepakatan. Dasar pengangkatan seseorang sebagai hakim
didasrkan pada kitab-kitab fiqh.
Hakim-hakim dalam periode ini diangkat
oleh rapat marga, rapat negeri dan sebagainya menurut adat kebiasaan setempat,
seperti yang terdapat di kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, dan Banten.
Tentang kedudukan dan peranan para hakim pada masa ini adalah sama dengan pada
periode tahkim, yaitu dis samping sebagai tokoh masyarakat juga sebagai
penasihat agama Islam dan imam masjid.[5]
·
Periode Tauliah
Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia, pengangkatan hakim dilaksanakan dengan cara tauliah dari
imam. Atau pelimpahan wewnang dari sultan selaku kepala negera. Kepala negara
sebagai Walial-Amri mempunyai wewenang mengangkat orang-orang yang telah
memenuhi syarat tertentu untuk menjadi hakim di wilayah kerajaan yang
ditentukan oleh kepala negara atau sultan. Pemberlakuan tauliah ini mulai
diberlakukan pada 1282 M sebelum Marcopolo seinggah di Peureulak pada 1292 M.
2.
Eksistensi
Peradilan Islam di Indonesia
a.
Peradilan Islam
dalam Sistem Peradilan Indonesia Peradialan Islam (peradilan agama) merupakan
penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan adalm memberi layanan agama
kepada masyarakat Islam. Peradilan agama diletakan sebagai sebuah lembaga
yudikatif. Sebagai salah satu alat kelengkapan pemerintahan, peradilan agama
juga harus bertanggungjawab terhadap seluruh aspek penegakan hukum Islam.
Kekuasaan atau wewenang peradilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas
wewenang relatif (relative competentie) dan wewenang mutlak (absolute
competentie).[6]
Wewenang relative berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik
pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya, cakupan
dan batasan kekuasaan relatif Pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya
berdasarkan undang-undang. Wewenang absolut adalah kewenangan menadili yang
berhubungan dengan bidang perkara yang diselesaikan
b.
Kewenangan dan
Otoritas Peradilan Islam
Peradilan agam a memiliki kewenangan
memproses perkara dan memberikan keadilan kepada orang Islam yang berperkara.
Perkara-perkara yang diajukan tersebut diselesaikan berdasarkan pertimbangan
hukum Islam yang berlaku. Sebagaimana pengadilan lainnya, secara hirarkis
penyelesaian perkara di peradilan agama dilaksanakan memalui dua lembaga, yaitu
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama.
Dasar kewenangan dan otoritas pengadilan
agama didasarkan pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang No. 3
Tahu 2006.
3.
Kontribusi
Peradilan Islam bagi Perkembangan Hukum Islam
Sitem hukum Indonesia menganut
pluralisme sistem hukum, karena terdapat tiga sistem hukum yang hidup dan
berkembang yaitu, hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat. Hukum Islam yang
berlaku di Indonesia itu dapat dibagi menjadi dua. Pertama, hukum Islam yang
berlaku secara normatif, adalah bagian hukum Isalam yang mempunyai sangsi atau
padahan kemasyrakatan. Pelaksanaannya tergantung pada kuat lemahnya kesadaran
masyarakat muslim mengenai kaidah-kaidah hukum Islam yang bersifat normatif
itu. Hukum Islam yang berlaku secara normatif tidak memerlukan bantuan
kekuasaan negara untuk melaksanakannya.
Kedua, hukun islam yang berlaku secara
formal yuridis adalah (bagian) hukum Islam yang mengatur manusia dengan manusia
dana benda dalam masyarakat yang termasuk dalam kategori hukum Islam bidang
mu’amalah. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif karena dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan, berdasarkan atau karena ditunjuk oleh
perundang-undangan. Yang dimaksud ialah (misalnya) hukumperkawinan, hukum
kewarisan, hukum wakaf. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis
memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankan secara sempurna
dengan misalnya, mendirikan lembaga Peradilan Agama yang menjadi salah stu
sistem peradilan nasilonal di negara kita.[7]
B.
Lembaga
Pemberi Fatwa
Diantara
lembaga-lembaga pemberi fatwa terkait dengan hukum Islam, antara lain
1.
Majlis Tarjih
Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah
organisasi sosial keagamaan yang memiliki misi utama pembaharuan (tajdid)
terhadap pemahaman agama. Pembaharuan itu mmemiliki dua arti yaitu memurnikan
ajaran dan memodernkan. Dengan adanya kekhawatiran timbulnya perpecahan
dikalangan orang-orang Muhammadiyah, karena perbedaan paham dalam
masalah-masalah hukum agama, maka berdasarkan keputusan Kongres Muhammadiyah
ke-XVI tahun 1927 dipekalongan atas usul dari K.H Mansyur didirikanlah Majlis
Tarjih.
Fungsi Majlis ini
adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah
tertentu. Masalah-masalah tersebut tidak hanya pada bidang agama dalam arti
sempit,tetapi juga menyangkut masalah sosial kemasyarakatan. Dalam Muktamar
Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Aceh, majis ini disempurnakan menjadi Majlis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Prinsip-prinsip metodologis
yang telah dirumuskan dalam manhaj al-istimbathnya yaitu sebagai berikut:
Ø Mengubah
istilah al-sunnah al-shahihah menjadi al-maqbullah sebagai sumber hukum sesudah
Al-Qur’an.
Ø Ijtihad
dipergunakan untuk merumuskan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah.
Ø Ijtihad
meliputi metode bayani (menggunakan kaidah kebahasaan),metode
ta’lili(menggunakan pendekatan hukum ‘illat hukum) dan metode
istihshlahi(menggunakan metode kemaslahatan).
Ø Manhaj
menetapkan 4 pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum yaitu :
hermeneutika,sejarah,sosiologis,dan antropologis.
Ø Ijma’,qiyas,
maslahah mursalah, serta ‘urf, berkedudukan sebagai teknik penetapan hukum.
Ø Ta’arudl
al-adillah iselesaikan secara hierarkis melalui al-jam’u wa al-taufiq,
al-tarjih, al-nasakh, dan tawaqquf.
Ø Tarjih
terhadap nash harus mempertimbangkan beberapa segi : segi sanad, segi
matan,segimateri hukum,dan segi eksternal.
Ø Hal
yang tidak dirubah masih tetap berlaku, seperti : mendasarkan akidah hanya
kepada dalil mutawwatir, pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-sunnah dilakukan
secara komprehensif dan integral, peran akal dalam memahami teks al-Qur’an dan
al-Sunnah dapat diterima, dll.[8]
Mekanisme
pengambilan keputusan MTPPI terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan
dalam perspektif Islam, yaitu dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan,
menerapkan manhaj al istinbath, kemudian menarik natijah hukumnya, hasil
keputusan majlis ini kemudian diajukan ke pimpinan Muhammadiyah sesuai dengan
tingkatannya.selanjutnya pimpinan Muhammadiyahlah yang memiliki otoritasntuk
mentanfidzkan atau tidak,sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki.
2.
Lajnah Bahsul
Masail Nahdhatul Ulama
Secara historis, forum
bahsul masail sudah ada sebelum NU berdiri. Latar belakang munculnya Lajnah
Bahsul Masail (Lembaga Pengkajian Masalah-Masalah Agama) adalah karena adanya
kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam, terutama menyangkut kebutuhan
praktis bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini mendorong para ulama dan
intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul masail. Bahtsul
masail ini pertama dilaksanakan pada tahun 1926,yaitu beberapa bulan setelah
berdirinya NU. Secara resmi institut Lajnah Bahtsul Masail diusulkan
pembentukannya pada Muktamar XXVIIIdi Yogyakarta tahun 1989.
Forum bahtsul masail
dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah(legislatif) Nahdlatul Ulama. Forum ini
bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum islam baik yang berkaitan
dengan masalah fiqh,ketauhidan, dan bahkan masalah tasawuf(tarekat). Metode
istinbath Hukum Lajnah Basul Masail diartikan sesuai sikap dasar
bermazhab,yaitu memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks
permasalahan yang dicari hukumnya. Dalam forum bahtsul masail, Mazhab Syafi’i
menempati posisi yang dominan. Namun demikian, bukan berarti ulama NU menolak
pendapat ulama diluar Syafiiyyah.
Metode pengambilan
keputusan hukum Bahtsul Masail yaitu, sebagai berikut :
·
Dalam kasus yang
jawabannya ditemukan hanya satu qaul (pendapat), maka qaul itu yang diambil.
·
Dalam kasus yang
hukumnya terdapat dua pendapat dilakukan taqrir jama'i dalam memilih salah
satunya.
·
Bila tidak
ditemukan pendapat sama sekali, dipakai ilhaq al masail bin nadhariha
(menetapkan hukum sesuatu berdasarkan hukum atas sesuatu yang sama yang telah
ada) secara jama’i oleh para ahlinya.
·
Masalah yang
dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq,
maka dilakukan istinbath jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji
oleh para ahlinya.[9]
3.
Dewan Hisbah
Persatuan Islam
Persatuan Islam
(Persis) adalah organisasi sosial Islam yang berdiri pada tanggal 12 September
1923. Pada awalnya, embrio organisasi ini adalah kelompok tadarusan (penalaahan
agama Islam) dikota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H Muhammad Yunus. Nama
Persatuan Islam ini dimaksudkan untuk mengarahkan ruhul ijtihan dan jihad ,
yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam,
dan persatuan usaha Islam. Pada muktamar ke VIII(1983), Majlis Ulama Persis
berganti nama menjadi Dewan Hisbah. Dewan Hisbah dibentuk oleh pimpinan pusat
pada tanggal 25 Oktober 1997, Dewan Hisbah mengalami pembenahan struktur, yaitu
dibentuknya tiga komisi : Komisi Ibadah, Komisi Mu’amalah, Komisi Aliran sesat.
Dewan Hisbah Persis memiliki tugas menyelidiki dan menetapkan hukum Islam
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Dewan Hisbah secara umum menetapkan
metodologi pengambilan keputusan (Turuq al istimbath), menjadi tiga bagian :
1.
Ahkam Al Syar’i,
yaitu ketetapan yang ditentukan oleh Syar’i yang bersifat tuntutan dan pilihan.
Dari sifat ini melahirkan hukum taklify
yang meliputi : Ijab(wajib), Nadb(Mandub), Tahrim(haram), Karahah (makruh), dan
Ibahah (mubah).
2.
Sumber hukum,
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
3.
Metode Istimbath
hukum,yang terdiri dari : kaidah usuliyah(kaidah kebahasaan),tujuan umum
perundang-undangan Islam(merealisasikan kemaslahatan dan menolak kemadaratan
bagi manusia), tariqat al-Jami’(menggabungkan dua nash yang nampaknya
bertentangan dalam satu masalah ) serta tariqat al tarjih(mengambil yang lebih
kuat dari dua dalil yang sama-sama shahih).
Mekanisme
ijtihad yang ditempuh oleh Dewan Hisbah adalah :
1.
Mencari
keterangan dari Al-Qur’an, bila terdapat perbedaan pemahaman dan
penafsiran,maka diadakan Tariqat al-Jami’.
2.
Bila tidak
terdapat dalil dari Al-Qur’an, maka diadakan penelitian tentang hadisnya, baik
dari segi sanadnya maupun matannya, sebagai langkah untuk melakukan
pentarjihan.
3.
Jika tidak
terdapat dalam Sunnah,maka dicari asar sahabat,dengan cara yang sama pada butir
yang kedua.
Adapun
metode pengambilan keputusan hukum atas dasar Al-Qur’an dan Hadist melalui
langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Mendahulukan
zahir ayat al-Qur’an dari pada ta’wil
2.
Menerima dan
meyakini isi al-Qur’an,sekalipun nampaknya bertentangan dengan akal, seperti
pada kasus Isra’ Mi’raj.
3.
Mendahulukan
makna hakiki daripada majuzi kecuali jika ada alasan sseperti lafaz aw la
mastumun nisa’ dengan pengertian bersetubuh.
4.
Apabila ayat
Al-Qur’an bertentangan dengan hadist, maka ayat al-Qur’an yang didahulukan
sekalipun hadist shahih seperti halnya menghajikan orang lain.
5.
Menerima tafsir
para sahabat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
6.
Menerima hadist
sebagai bayan daripada ayat al-Qur’an.[10]
7.
Melakukan
sesuatu jika adacontohnya dari Rasul,sedangkan Ijma’ uli al-amri itu hanya
dalam masalah keduniaan saja.
8.
Qiyas dijadikan
sebagai dalil yang keempat, jika tdakterdapat nas dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
9.
Mazhab disamakan
dengan tali, karena disamping tidak berdasar pada Al-Qur’an dan Sunnah juga
dikarenakan pada masa Rasulu dan sahabat tidak ada mazhab.
4.
Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia
adalah majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim
Indonesia. Majelis ini berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Dalam
kittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan 5 fungsi dan peran
utama MUI,yaitu :
Ø Sebagai
pewaris tugas-tugas para Nabi (warasatul anbiya)
Ø Sebagai
pemberi fatwa (mufti)
Ø Sebagai
pembimbing dan pelayan umat (khadim al-ummah)
Ø Sebagai
gerakan Islah wa al Tajdid
Ø Sebagai
penegak amar ma’ruf nahi munkar
Metode
Ijtihad Komisi Fatwa MUI
Sumber
fatwa didalam MUI berasal dari fatwa yang ditetapkan dalam sidang Komisi
Fatwa,Musyawarah Nasional MUI, dan fatwa ijtima’ ulama Komisi Fatwa MUI
se-Indonesia. Metode yang digunakan dalam proses penetapan fatwa meliputi :
a)
Pendekatan Nash
Qath’i, dilakukan dengan berpegang kepada Al-Qur’an atau Hadist untuk sesuatu
masalah.
b)
Pendekatan Qauli
adalah pendekatan yang mendasarkan pada pendapat para imam mazhab dalam
kitab-kitab fiqh terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah).
c)
Pendekatan
Manhaji, dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah pokok(al qawaid
al-ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam
merumuskan hukum suatu masalah.
Dalam
masalah yang terjadi khilafiyah dikalangan imam mazhab, maka penetapan fatwa
dilakukan dengan mencari titik temu diantara pendapat-pendapat mazhab( al-Jam’u
wa al-taufiqi). Jika usaha tersebut tidak berhasil maka dilakukan melalui
metode tarjih (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan
argumentasinya) yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab dan dengan
menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh perbandingan.
Jika
dalam masalah yang belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan tetapi terdapat
padanannya dari masalah tersebut, maka penetapannya dilakukan melalui metode
ilhaqi yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya
dalam al-kutub al mu’tabarah. Jika tidak ada padanan kasusnya, maka
dipergunakan metode istinbathi. Hal yang juga diperhatikan dalam metode
istimbath Komisi Fatwa MUI adalah kemaslahatan umum dan intisari agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat saya simpulkan
bahwa :
DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin,Ali. 2012. Fiqh Ushul Fiqh. Yogyakarta : Penerbit Beranda
Publishing.
Koto,Aladin. 2011. Sejarah Peradilan Islam.Jakarta : Rajawali Pers
[1]
Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 4.
[2]
Abdul Manan, Etika Hakim, op.cit., hlm. 150. Lihat juga Abdul Halim Peradilan
Agama, op.cit., hlm. 36.
[3]
Yang dimaksud ulama dalam tradisi Islam adalah pengemban tradisi agama dan
seseorang yang paham betul terhadap syariah. Lihat Ensiklopedia Indonesia,
(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve), hlm. 368.
[4]
Abdul Manan, Etika Hakim, op.cit., hlm 152.
[5]
Zaini Ahmad Noeh, Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum
Islam, dalam Amrullah SF (Ed), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta, Gema Insani Press, 1996) hlm. 72.
[6]
Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 204.
[7]
H.M Daud Ali, Hukum Islam dan Peradialn Agama (Kumpulan Tulisan); Latar
Belakang, Tujuan dan Prospek Undang-undang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 290-291.
[8]
Manhaj Ijtihad Umum, dalam http://tarjih bms.wordpress.com/manhaj.
[9]
Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdatul Ulama 1992, Sitem Pengambilan
Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil keputusan Batsul Masail(Jakarta : Sekjen
PBNU,1002) hal 3-4
[10]
Kamiluddin Uyun, Menyorot Ijtihad PERSIS (Bandung : Tafakkur,2005), hlm 81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar