Rabu, 30 Desember 2015

MAKALAH USHUL FIQH LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA


MAKALAH USHUL FIQH
LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas ushul fiqh
Dosen Pengampu : Drs.H.Abd.Malik Usman, M.SI

Description: Description: logo-uin-suka-baru-warna

Disusun :
1.     Najiba Rahmawati        (1440111)
2.     M. Harisul                     (1440112)
3.     Afrida Zulia Fatimah    (1440113)
4.     Umi Maslakhah            (1440114)
PAI/Kelas C
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

2014/2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagaimana halnya sejarah pada umumnya, sejarah peradilan islam adalah sebuah kajian yang sangat penting dilakukan untuk melihat jejak-jejak masa lalu tentang praktik-praktik yang dilakukan oleh umat islam dalam bidang peradilan sejak masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Bagaimana ajaran dan hukum agama (Islam) ditegakkan, dan bagaimana para penegak hukum dimasa lalu menjalankan amanah yang dipikulkan kepada mereka,adalah kajian yang tidak boleh dilengahkan, demi mencapai kemaslahatan dimasa datang, baik didunia maupun diakhirat.
Pada masa Rasulullah SAW,demikian pula masa Khulafa’ al Rasyidin, atau Dinasti Bani Umayyah, maupun Dinasti Abbasiyah, peradilan merupakan sebuah sistem yang mencakup tidak saja proses peradilan, tetapi juga mencakup lembaga-lembaga lain yang saling mendukung. Dengan demikian,selain Peradilan Agama, di Indonesia terdapat lembaga-lembaga yang mengeluarkan fatwa terkait dengan hukum Islam. Lembaga-lembaga tersebut tidak bersifat mandiri, karena merupakan bagian dari organisasi sosial/kemasyarakatan Islam yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, metode ijtihad dan produk fatwanya dipengaruhi oleh corak khusus masing-masing organisasi yang menaunginya.
Dalam makalah ini,akan dikemukakan lembaga-lembaga hukum Islam yang ada di Indonesia serta metode ijtihad yang digunakannya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah peradilan Islam di Indonesia?
2.      Apa saja lembaga-lembaga hukum Islam di Indonesia?
3.      Apakah dasar-dasar yang digunakan lembaga-lembaga itu dalam mengistinbathkan suatu hukum?
4.      Bagaimana metode pengambilan hukum dalam lembaga-lembaga tersebut?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lembaga Peradilan Islam di Indonesia
1.         Sejarah Peradilan Islam di Indonesia
Peradilan agama di Indonesia dalam bentuk yang dikenal sekarang ini merupakan mata rantai yang tidak terputus dari sejarah masuknya Islam ke nusantara ini. Pada abad ke-7 M, Islam telah masuk ke Indonesia dan telah dianut oleh sebagian orang Indonesia. Penerapan hukum Islam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah namun juga mengenai muamalat, munakahat dan uqubat (jinayah/hudud). Dengan adanya penerapan hukum Islam dalam beberapa hal diatas juga telah ada dan selalu ada pegawai khusus yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam di setiap daerah untuk menjalankan sistem peradilan.[1]
Penerapan hukum islam di Indonesia sebelum datangnya pemerintah kolonial disepakati para ahli terbagi menjai tiga periode, yaitu periode Tahkim, periode Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi, periode Tauliah.
·         Periode Tahkim
Perkembangan hukum dan peradilan Islam pada masa kerajaan dapat dilihat dalam sejarah kehidupan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara. Di sanalah Islam ditanamkan, yang kemudian membawa pengaruh kepada masyarakatnya. Masing-masing kerajaan Islam ternyata memiliki model yang khas dalam Islamisasi wilayahnya. Perbedaan model Islmisasi itulah yang kemudian berakibat pada perbedaan warna dan corak hukum Islam yang dianutnya.
Pada awal masa Islam datang ke Indonesia, komunitas Islam sangat sedikit dan pemeluk Islam masih belum mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan hukum Islam. Bila timbul permasalahan, mereka menunjuk seseorang yang dipandang ahli untuk menyelesaikannya. Apa pun keputusan yang akan dijatuhkan oleh orang yang ditunjuk itu keduanya harus taat untuk mematuhinya. Cara seperti itulah yang disebut “tahkim”. Berkahkim seperti ini dapat juga dilaksanakan dalam hal selain sengketa, seperti penyerahan pelaksanaan akad nikah dari wanita yang tidak mempunyai wali.[2]
Orang ditujuk sebagi hakim itu disebut muhakam yang bertugas untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul diantara mereka. Pada awal datangnya Islam ke Indonesia, muhakam ini adalah orang yang menguasai ilmu pengetahuan secara luas yang dalam kehidupan sehari-hari disebut Ulama.[3]
·         Periode Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi
Setelah kelompok masyarakat islam terbentuk dan mampu mengatur tata kehidupan sendiri, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan jalam mengangkat Ahl al-Haf wa al-Aqdi. Yaitu orang-orang terpecaya dan luas pengetahuannya untuk menjadi sesepuh masyarakat. Abdul Manan memberikan definisi Ahl al-Hal wa al-‘Aqdi adalah pemimpin masyarakat yang diikuti dan dipercayai oleh umat, dapat diterima oleh semua pihak dengan ikhlas hati, pihak istiqamah, bertakwa, adil bijaksana, serta memiliki semangat untuk bekerja demi kepentingan umum.[4] Selanjutnya Ahl al-Hal wa al-‘Aqdi mengangkat para hakim untuk menyelesaikan segala sengketa yang ada di masyarakat. Penunjukan ini dilakukan atas dasar musyawarah dan kesepakatan. Dasar pengangkatan seseorang sebagai hakim didasrkan pada kitab-kitab fiqh.
Hakim-hakim dalam periode ini diangkat oleh rapat marga, rapat negeri dan sebagainya menurut adat kebiasaan setempat, seperti yang terdapat di kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, dan Banten. Tentang kedudukan dan peranan para hakim pada masa ini adalah sama dengan pada periode tahkim, yaitu dis samping sebagai tokoh masyarakat juga sebagai penasihat agama Islam dan imam masjid.[5]


·         Periode Tauliah
Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pengangkatan hakim dilaksanakan dengan cara tauliah dari imam. Atau pelimpahan wewnang dari sultan selaku kepala negera. Kepala negara sebagai Walial-Amri mempunyai wewenang mengangkat orang-orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk menjadi hakim di wilayah kerajaan yang ditentukan oleh kepala negara atau sultan. Pemberlakuan tauliah ini mulai diberlakukan pada 1282 M sebelum Marcopolo seinggah di Peureulak pada 1292 M.
2.         Eksistensi Peradilan Islam di Indonesia
a.       Peradilan Islam dalam Sistem Peradilan Indonesia Peradialan Islam (peradilan agama) merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan adalm memberi layanan agama kepada masyarakat Islam. Peradilan agama diletakan sebagai sebuah lembaga yudikatif. Sebagai salah satu alat kelengkapan pemerintahan, peradilan agama juga harus bertanggungjawab terhadap seluruh aspek penegakan hukum Islam. Kekuasaan atau wewenang peradilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas wewenang relatif (relative competentie) dan wewenang mutlak (absolute competentie).[6] Wewenang relative berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relatif Pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan undang-undang. Wewenang absolut adalah kewenangan menadili yang berhubungan dengan bidang perkara yang diselesaikan
b.      Kewenangan dan Otoritas Peradilan Islam
Peradilan agam a memiliki kewenangan memproses perkara dan memberikan keadilan kepada orang Islam yang berperkara. Perkara-perkara yang diajukan tersebut diselesaikan berdasarkan pertimbangan hukum Islam yang berlaku. Sebagaimana pengadilan lainnya, secara hirarkis penyelesaian perkara di peradilan agama dilaksanakan memalui dua lembaga, yaitu pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama.
Dasar kewenangan dan otoritas pengadilan agama didasarkan pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang No. 3 Tahu 2006.
3.         Kontribusi Peradilan Islam bagi Perkembangan Hukum Islam
Sitem hukum Indonesia menganut pluralisme sistem hukum, karena terdapat tiga sistem hukum yang hidup dan berkembang yaitu, hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia itu dapat dibagi menjadi dua. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara normatif, adalah bagian hukum Isalam yang mempunyai sangsi atau padahan kemasyrakatan. Pelaksanaannya tergantung pada kuat lemahnya kesadaran masyarakat muslim mengenai kaidah-kaidah hukum Islam yang bersifat normatif itu. Hukum Islam yang berlaku secara normatif tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanakannya.
Kedua, hukun islam yang berlaku secara formal yuridis adalah (bagian) hukum Islam yang mengatur manusia dengan manusia dana benda dalam masyarakat yang termasuk dalam kategori hukum Islam bidang mu’amalah. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif karena dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, berdasarkan atau karena ditunjuk oleh perundang-undangan. Yang dimaksud ialah (misalnya) hukumperkawinan, hukum kewarisan, hukum wakaf. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankan secara sempurna dengan misalnya, mendirikan lembaga Peradilan Agama yang menjadi salah stu sistem peradilan nasilonal di negara kita.[7]
B.     Lembaga Pemberi Fatwa
Diantara lembaga-lembaga pemberi fatwa terkait dengan hukum Islam, antara lain
1.      Majlis Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang memiliki misi utama pembaharuan (tajdid) terhadap pemahaman agama. Pembaharuan itu mmemiliki dua arti yaitu memurnikan ajaran dan memodernkan. Dengan adanya kekhawatiran timbulnya perpecahan dikalangan orang-orang Muhammadiyah, karena perbedaan paham dalam masalah-masalah hukum agama, maka berdasarkan keputusan Kongres Muhammadiyah ke-XVI tahun 1927 dipekalongan atas usul dari K.H Mansyur didirikanlah Majlis Tarjih.
Fungsi Majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah-masalah tersebut tidak hanya pada bidang agama dalam arti sempit,tetapi juga menyangkut masalah sosial kemasyarakatan. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Aceh, majis ini disempurnakan menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Prinsip-prinsip metodologis yang telah dirumuskan dalam manhaj al-istimbathnya yaitu sebagai berikut:
Ø  Mengubah istilah al-sunnah al-shahihah menjadi al-maqbullah sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an.
Ø  Ijtihad dipergunakan untuk merumuskan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ø  Ijtihad meliputi metode bayani (menggunakan kaidah kebahasaan),metode ta’lili(menggunakan pendekatan hukum ‘illat hukum) dan metode istihshlahi(menggunakan metode kemaslahatan).
Ø  Manhaj menetapkan 4 pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum yaitu : hermeneutika,sejarah,sosiologis,dan antropologis.
Ø  Ijma’,qiyas, maslahah mursalah, serta ‘urf, berkedudukan sebagai teknik penetapan hukum.
Ø  Ta’arudl al-adillah iselesaikan secara hierarkis melalui al-jam’u wa al-taufiq, al-tarjih, al-nasakh, dan tawaqquf.
Ø  Tarjih terhadap nash harus mempertimbangkan beberapa segi : segi sanad, segi matan,segimateri hukum,dan segi eksternal.
Ø  Hal yang tidak dirubah masih tetap berlaku, seperti : mendasarkan akidah hanya kepada dalil mutawwatir, pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-sunnah dilakukan secara komprehensif dan integral, peran akal dalam memahami teks al-Qur’an dan al-Sunnah dapat diterima, dll.[8]
Mekanisme pengambilan keputusan MTPPI terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan dalam perspektif Islam, yaitu dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath, kemudian menarik natijah hukumnya, hasil keputusan majlis ini kemudian diajukan ke pimpinan Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya.selanjutnya pimpinan Muhammadiyahlah yang memiliki otoritasntuk mentanfidzkan atau tidak,sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki.  
2.      Lajnah Bahsul Masail Nahdhatul Ulama
Secara historis, forum bahsul masail sudah ada sebelum NU berdiri. Latar belakang munculnya Lajnah Bahsul Masail (Lembaga Pengkajian Masalah-Masalah Agama) adalah karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam, terutama menyangkut kebutuhan praktis bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul masail. Bahtsul masail ini pertama dilaksanakan pada tahun 1926,yaitu beberapa bulan setelah berdirinya NU. Secara resmi institut Lajnah Bahtsul Masail diusulkan pembentukannya pada Muktamar XXVIIIdi Yogyakarta tahun 1989.
Forum bahtsul masail dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah(legislatif) Nahdlatul Ulama. Forum ini bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum islam baik yang berkaitan dengan masalah fiqh,ketauhidan, dan bahkan masalah tasawuf(tarekat). Metode istinbath Hukum Lajnah Basul Masail diartikan sesuai sikap dasar bermazhab,yaitu memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Dalam forum bahtsul masail, Mazhab Syafi’i menempati posisi yang dominan. Namun demikian, bukan berarti ulama NU menolak pendapat ulama diluar Syafiiyyah.
Metode pengambilan keputusan hukum Bahtsul Masail yaitu, sebagai berikut :
·         Dalam kasus yang jawabannya ditemukan hanya satu qaul (pendapat), maka qaul itu yang diambil.
·         Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat dilakukan taqrir jama'i dalam memilih salah satunya.
·         Bila tidak ditemukan pendapat sama sekali, dipakai ilhaq al masail bin nadhariha (menetapkan hukum sesuatu berdasarkan hukum atas sesuatu yang sama yang telah ada) secara jama’i oleh para ahlinya.
·         Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya.[9]

3.      Dewan Hisbah Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) adalah organisasi sosial Islam yang berdiri pada tanggal 12 September 1923. Pada awalnya, embrio organisasi ini adalah kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam) dikota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H Muhammad Yunus. Nama Persatuan Islam ini dimaksudkan untuk mengarahkan ruhul ijtihan dan jihad , yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Pada muktamar ke VIII(1983), Majlis Ulama Persis berganti nama menjadi Dewan Hisbah. Dewan Hisbah dibentuk oleh pimpinan pusat pada tanggal 25 Oktober 1997, Dewan Hisbah mengalami pembenahan struktur, yaitu dibentuknya tiga komisi : Komisi Ibadah, Komisi Mu’amalah, Komisi Aliran sesat. Dewan Hisbah Persis memiliki tugas menyelidiki dan menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Dewan Hisbah secara umum menetapkan metodologi pengambilan keputusan (Turuq al istimbath), menjadi tiga bagian :
1.      Ahkam Al Syar’i, yaitu ketetapan yang ditentukan oleh Syar’i yang bersifat tuntutan dan pilihan. Dari sifat ini  melahirkan hukum taklify yang meliputi : Ijab(wajib), Nadb(Mandub), Tahrim(haram), Karahah (makruh), dan Ibahah (mubah).
2.      Sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
3.      Metode Istimbath hukum,yang terdiri dari : kaidah usuliyah(kaidah kebahasaan),tujuan umum perundang-undangan Islam(merealisasikan kemaslahatan dan menolak kemadaratan bagi manusia), tariqat al-Jami’(menggabungkan dua nash yang nampaknya bertentangan dalam satu masalah ) serta tariqat al tarjih(mengambil yang lebih kuat dari dua dalil yang sama-sama shahih).
Mekanisme ijtihad yang ditempuh oleh Dewan Hisbah adalah :
1.      Mencari keterangan dari Al-Qur’an, bila terdapat perbedaan pemahaman dan penafsiran,maka diadakan Tariqat al-Jami’.
2.      Bila tidak terdapat dalil dari Al-Qur’an, maka diadakan penelitian tentang hadisnya, baik dari segi sanadnya maupun matannya, sebagai langkah untuk melakukan pentarjihan.
3.      Jika tidak terdapat dalam Sunnah,maka dicari asar sahabat,dengan cara yang sama pada butir yang kedua.
Adapun metode pengambilan keputusan hukum atas dasar Al-Qur’an dan Hadist melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Mendahulukan zahir ayat al-Qur’an dari pada ta’wil
2.      Menerima dan meyakini isi al-Qur’an,sekalipun nampaknya bertentangan dengan akal, seperti pada kasus Isra’ Mi’raj.
3.      Mendahulukan makna hakiki daripada majuzi kecuali jika ada alasan sseperti lafaz aw la mastumun nisa’ dengan pengertian bersetubuh.
4.      Apabila ayat Al-Qur’an bertentangan dengan hadist, maka ayat al-Qur’an yang didahulukan sekalipun hadist shahih seperti halnya menghajikan orang lain.
5.      Menerima tafsir para sahabat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
6.      Menerima hadist sebagai bayan daripada ayat al-Qur’an.[10]
7.      Melakukan sesuatu jika adacontohnya dari Rasul,sedangkan Ijma’ uli al-amri itu hanya dalam masalah keduniaan saja.
8.      Qiyas dijadikan sebagai dalil yang keempat, jika tdakterdapat nas dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
9.      Mazhab disamakan dengan tali, karena disamping tidak berdasar pada Al-Qur’an dan Sunnah juga dikarenakan pada masa Rasulu dan sahabat tidak ada mazhab.

4.      Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia. Majelis ini berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Dalam kittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan 5 fungsi dan peran utama MUI,yaitu :
Ø  Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (warasatul anbiya)
Ø  Sebagai pemberi fatwa (mufti)
Ø  Sebagai pembimbing dan pelayan umat (khadim al-ummah)
Ø  Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
Ø  Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar
Metode Ijtihad Komisi Fatwa MUI
Sumber fatwa didalam MUI berasal dari fatwa yang ditetapkan dalam sidang Komisi Fatwa,Musyawarah Nasional MUI, dan fatwa ijtima’ ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia. Metode yang digunakan dalam proses penetapan fatwa meliputi :
a)      Pendekatan Nash Qath’i, dilakukan dengan berpegang kepada Al-Qur’an atau Hadist untuk sesuatu masalah.
b)      Pendekatan Qauli adalah pendekatan yang mendasarkan pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqh terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah).
c)      Pendekatan Manhaji, dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah pokok(al qawaid al-ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah.
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah dikalangan imam mazhab, maka penetapan fatwa dilakukan dengan mencari titik temu diantara pendapat-pendapat mazhab( al-Jam’u wa al-taufiqi). Jika usaha tersebut tidak berhasil maka dilakukan melalui metode tarjih (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan argumentasinya) yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh perbandingan.
Jika dalam masalah yang belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan tetapi terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penetapannya dilakukan melalui metode ilhaqi yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al mu’tabarah. Jika tidak ada padanan kasusnya, maka dipergunakan metode istinbathi. Hal yang juga diperhatikan dalam metode istimbath Komisi Fatwa MUI adalah kemaslahatan umum dan intisari agama.

























BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
      Dari uraian diatas, dapat saya simpulkan bahwa :









DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin,Ali. 2012. Fiqh Ushul Fiqh. Yogyakarta : Penerbit Beranda Publishing.
Koto,Aladin. 2011. Sejarah Peradilan Islam.Jakarta : Rajawali Pers












[1] Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 4.
[2] Abdul Manan, Etika Hakim, op.cit., hlm. 150. Lihat juga Abdul Halim Peradilan Agama, op.cit., hlm. 36.
[3] Yang dimaksud ulama dalam tradisi Islam adalah pengemban tradisi agama dan seseorang yang paham betul terhadap syariah. Lihat Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve), hlm. 368.
[4] Abdul Manan, Etika Hakim, op.cit., hlm 152.
[5] Zaini Ahmad Noeh, Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam Amrullah SF (Ed), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta, Gema Insani Press, 1996) hlm. 72.
[6] Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 204.
[7] H.M Daud Ali, Hukum Islam dan Peradialn Agama (Kumpulan Tulisan); Latar Belakang, Tujuan dan Prospek Undang-undang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 290-291.
[8] Manhaj Ijtihad Umum, dalam http://tarjih bms.wordpress.com/manhaj.
[9] Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdatul Ulama 1992, Sitem Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil keputusan Batsul Masail(Jakarta : Sekjen PBNU,1002) hal 3-4
[10] Kamiluddin Uyun, Menyorot Ijtihad PERSIS (Bandung : Tafakkur,2005), hlm 81.

MAKALAH SANAD, MATAN DAN RAWI HADIS

SANAD, MATAN DAN RAWI HADIS
Disusun untuk memenuhi
Tugas mata kuliah: Al Qur’an Al Hadis
Dosen Pengampu: Dr. Hj. Marhumah, M. Pd


Disusun oleh:
Yuli Nurdiyanto                      (14410110)
Najiba Rahmawati                  (14410111)
Muhammad Harisul Huda      (14410112)
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
2014
KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr. Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik dan inayah-Nya serta nikmat sehat sehingga penyusunan makalah guna memenuhi tugas mata kuliah Al Qur’an Al Hadis ini dapat selesai sesuai dengan waktunya. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Agung Muhammad SAW dan semoga kita selalu berpegang teguh pada sunnahnya Amin.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya ada hambatan yang selalu mengiringi namun atas kerja sama dan diskusi, akhirnya semua hambatan dalam penyusunan makalah ini dapat teratasi.
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai informasi serta untuk menambah wawasan khususnya dalam studi Al Qur’an Al Hadis dan adapun metode yang kami ambil dalam penyusunan makalah ini adalah berdasarkan pengumpulan sumber informasi dari berbagai sumber buku,karya tulis dan media massa yang mendukung dengan tema makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan sebagai sumbangsih pemikiran khususnya untuk para pembaca dan tidak lupa kami mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi dari keseluruhan makalah ini. Kami sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kebaikan kami untuk kedepannya.
Wassalamualikum Wr.Wb

Yogyakarta, 29 September 2014


Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ 2
DAFTAR ISI................................................................................................................ 3           
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................................ 4
B.     Rumusan Masalah                                                                                                     4
C.     Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sanad..................................................................................................... 5
B.     Pengertian Matan..................................................................................................... 6
C.     Pengertian Rawi...................................................................................................... 8
D.    Tolak Ukur Kesahihan Sanad Hadis....................................................................... 9
E.     Tolak Ukur Kesahihan Matan Hadis....................................................................... 10
F.      Tolak ukur Kesahihan Rawi Hadis.......................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 15



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia bagi orang-orang yang bertaqwa sifatnya mujmal(global) atau masih ‘am(umum), maka untuk menerapkannya secara praktis sangatlah membutuhkan penjelasan-penjelasan yang lebih jelas terutama dari nabi Muhammad SAW yang menerima wahyu. penjelasan-penjelasan dari nabi tersebut bisa berupa ucapan atau perbuatan maupun pernyataan atau pengakuan, yang dalam tradisi keilmuan islam disebut hadits. Dengan demikian, hadits nabi merupakan sumber ajaran islam setelah AL-Qur’an.
Dari sisi periwayatannya hadits memang berbeda dengan Al-Qur’an. Semua periwayatan ayat-ayat Al-Qur’an dipastikan berlangsung secara mutawatir, sedang hadits ada yang mutawatir dan ada juga yang ahad. Oleh karena itu, Al-Quran bila dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan sebagai qot’i al-wurud, sedang hadits nabi dalam hal ini yang berkategori ahad, berkedudukan sebagai dzoni al-wurud.
Untuk mengetahui otentisitas dan orisinalitas hadits semacam ini diperlukan penelitian matan maupun sanad. Dari sini dapat dilihat bahwa selain rowi , matan dan sanad merupakan tiga unsur terpenting dalam hadits nabi.
Untuk itu dalam pembahasan makalah ini kami akan menyajikan bahan diskusi yang berjudul :Sanad, Matan, dan Rowi Hadits, kami akan mencoba memaparkan apa itu Sanad, Matan, dan Rowi Hadits, Tolak Ukur Kesahihan Sanad Hadits, Tolak Ukur Kesahihan Matan Hadits, dan Tolak Ukur Kesahihan Rawi Hadits.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian sanad, matan, dan rawi hadis
2.      Bagaimana tolak ukur kesahihan sanad, matan, rawi hadis
C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian sanad, matan, dan rawi hadis
2.      Mengetahui tolak ukur kesahihan sanad, matan, rawi hadis


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sanad Hadis
Menurut bahasa, kata سند (sanad)mengandung kesamaan arti kata طريق (thariq) yaitu jalan atau sandaran. Sedangkan menurut istilah hadis, sanad ialah jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis.[1]
Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dhaifnya. Andai kata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadits tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian sebaliknya jika para pembawa hadits tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (muru’ah), dan memilikimdaya ingat yang kredibel, sanadnya bersambung dari satu periwayat ke periwayat lain sampai pada sumber berita pertama, maka haditsnya dinilai shahih.
Tidak layak naik ke loteng atau atap rumah kecuali dengan tangga. Maksud tangga adalah sanad, jadi seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Rasulullah dalam periwayatan hadits melainkan harus melalui sanad. Pernyataan di atas memberikan petunjuk, bahwa apabila sanad suatu hadits benar-benar dapat di pertanggung jawabkan keshahihannya, maka hadits itu pada umumnya berkualitas shahih dan tidak ada alasan untuk menolaknya. Studi sanad khusus hanya dimiliki umat Muhammad, umat-umat terdahulu sekalipun dalam penghimpunan kitab suci mereka dan juga tidak ditulis pada masa Nabi nya tidak disertai sanad. Padahal ditulis setelah ratusan tahun dari masa Nabi nya. Kitab suci mereka ditulis berdasarkan ingatan beberapa generasi yang dinisbatkan pada Nabi Isa yang tidak di sertai dengan sanad.
Contoh Sanad
حدثنا عبد الله بن يوسف قا ل أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه قرأ فى المغرب الطور. (رواه البخاري)
Artinya:
“memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR. Al-Bukhori)
Dari contoh hadis di atas jika diteliti, maka yang dimaksud dengan sanad adalah dimulai dari haddatsana Abdullah bin Yusuf hingga pada lafadz ‘An biihi qaala, yang menyambungkan kepada Rasulullah SAW. Agar lebih jelas berikut ini diterangkan dalam bentuk denah periwayatan hadits di atas.

B.     Pengertian Matan Hadis
Kata matan menurut bahasa berarti: keras, kuat, suatu yang nampak dan yang asli. Dalam perkembangan karya penulisan ada matan dan syarah. Matan disini di maksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat. Dimaksudkan dalam konteks hadits, hadits sebagai matan kemudian diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para ulama, misalnya Shahih Bukhari disyarahkan oleh Al-Asqolani dengan nama Fath al-Bari’ dan lain-lain.
Yang di sebut dengan matan hadits, ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah saw, sahabat atau tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak di sanggah oleh Nabi, Misalnya, Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Penghulu syuhada adalah Hamzah dan orang yang berdiri dihadapan penguasa untuk menasehatinya lantas ia dibunuh karenanya”. Pernyataan demikian merupakan matan (isi dari sebuah hadits) yang diriwayatkan oleh Imam Malik. Contoh lain, Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Masyarakat itu berserikat dalam tiga barang: air, padang gembalaan, dan api”. Sabda Rasul tersebut merupakan matan hadits yang diriwayatkan oleh kedua perawi hadits tersebut.
Contoh matan
عن أم المؤمنين عا ئشة رضى الله عنها قالت : قال رسول الله , من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. (رواه متفق عليه)
“warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda: barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim)
Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai dengan من أحدث hingga lafadz فهو رد atau dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد “barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’.”



C.     Pengertian Rawi Hadis
Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atau diterimanya dari dari seorang  (gurunya).[2] Bentuk jamaknya yaitu ruwat, perbuatan menyampaikan hadits tersebut dinamakan me-rawi  (riwayat) kan hadits.
Contoh hadits nabi dalam periwayatan yang lengkap :

حدثنا عبيدالله بن موسى قال : اخبرنا حنظلة بن ابى سفيان عن اكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله ص.م. بني الاسلام على خمس شهادة ان لااله الاالله وان محمد رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة والحج وصوم رمضان. “رواه البخارى

Artinya : “telah menceritakan kepada kami ubaidullah bin musa, ia berkata : telah mengabarkan kepada kami handhalah bin abi sufyan dari ikrimah bin khalid dari ikrimah bin khalid dati ibnu umar radhiyallahu ‘anhuma berkata : telah bersabda rasulullah saw : didirikan islam itu atas lima perkara : syahadat bahwa tidak ada tuhan selain allah dan muhammad rasulullah, mendirikan solat, membayar zakat, berhaji dan puasa dalam bulan ramadhan”. (Riwayat Bukhari)
Hadits tersebut diatas , kita temukan pada kitab hadits yang disusun oleh imam bukhari yang bernama : الجامع الصحيح (aljami’u as-shahih) atau lebih dikenal dengan  صحيح البخارى (shahih bukhari). Hadits tersebut telah diriwayatkan oleh beberapa orang rawi, yakni :
1.      Ibnu umar ra. ………………………sebagai rawi pertama.
2.      Ikrimah bin khalid ……………….sebagai rawi kedua.
3.      Handhalah bin abi sufyan ……..sebagai rawi ketiga.
4.      Ubaidullah bin musa ……………sebagai rawi keempat.
5.      Imam bukhari ……………………..sebagai rawi kelima atau rawi terakhir.



D.    Tolak Ukur Kesahihan Sanad Hadits
Setelah menyusun keseluruhan sanad yang telah ditakhrij dalam sebuah skema sanad (guna memudahkan pembacaan jaringan sanad hadits yang sedang diteliti), maka untuk selanjutnya dilakukan telaah kritis terhadap sanad hadits tersebut, namun sebelum menetapkan suatu hadits itu sahih atau tidak, diperlukan tolak ukur yang baku (setidak-tidaknya telah dibakukan oleh ulama’ hadits), yaitu yaitu sebagaimana dikemukakan al-nawawi bahwa yang disebut hadits sahih adalah :
ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة
“Yaitu hadits yang bersambung oleh rawi-rawi yang adil dan dhabit serta terhindar dari syudhut dan illat”.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kaedah kesahihan hadits adalah
1)      Sanadnya bersambung
2)      Seluruh rawi dalam sanad tersebut adil. Yang dimaksud dengan adil yaitu :
a. Beragama islam dan menjalankan agamanya dengan baik
b.Berakhlak mulia
c. Terhindar dari kefasikan
3)      Seluruh rawi dalam sanad tersebut dhabit. Yang dimaksud dengan dhabit yaitu :
a. Rawi memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya .
b.Rawi tersebut hafal dengan baik riwayat yang telah diterimanya. Rawi tersebut mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya dengan baik, kapan saja dia kehendaki dan sampai saat dia menyampaikan kembali riwayat tersebut kepada orang lain.
4)      Haditsnya terhindar dari syudhud.
5)      Haditsnya terhindar dari illat.
Pengertian illat adalah sebab tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Jadi kaedah hadits yang berillat adalah :
a. Tampak secara lahiriah sahih.
b.Sebenarnya dalam hadits itu ada kecacatan.
E. Tolak Ukur Kesahihan Matan Hadits
Kritik matan telah dilakukan sejak masa sahabat, dan cara-cara mereka ini pulalah  yang tetap dipertahankan hingga kini, namun sebelum menguraikan tolak ukur matan hadits ini terdapat langkah sistematis yang perlu dilalui yaitu:
a)Pada langkah pertama ini menunjukkan bahwa telaah matan hadits ini tidak terlepas dari telaah sanad hadits yang sebagai satu kesatuan hadits, sehingga matan yang sahih tetari tidak didukung sanad yang sahih tiak serta merta dapat dinyatakan sebagai hadits yang shahih atau benar-benar bersumber dari nabi saw. demikian pula sebaliknya.
b)      Sedangkan langkah kedua dilakukan telaah lafal, karena hadits yang sampai kepada beberapa mukharrij memiliki keragaman, sehingga perlu dilakukan telaah terhadap berbagai lafal yang ada pada beberapa hadits semakna tersebut, hal ini juga dipengaruhi oleh adanya hadits nabi yang yang sampai kepada mukharrij lebih banyak bersifat riwayat bil ma’na dari pada riwayat bil lafdhi.
c)Adapun langkah ketiga sebagai tindak lanjut dari langkah sebelumnya yaitu setelah peneliti mampu mengembara dengan bekal beberapa hasil rekaman berita yang semakna tersebut dilanjutkan dengan rekonstruksi makna bahwa hadits ini diyakini berasal dari nabi saw.
Untuk membantu kearah yang benar dalam menyimpulkan bahwa hadits-hadits tersebut benar-benar datangnya dari nabi saw., maka untuk mengukur hadits tersebut shahih dilakukan langkah teknis lain yaitu :
a)Memperhadapkan hadits tersebut dengan al-qur’an, sebab alqur’anlah yang menjadi dasar hidup nabi saw., sementara hadits adalah rekaman terhadap aktualisasi nabi saw. atas nilai-nilai alqur’an tersebut.
b)      Memperhadapkan hadits tersebut dengan hadits-hadits yang lain atau sunnah nabi saw.
c)Memperhadapkan hadits itu dengan realitas sejarah, sebab aktualisasi nabi saw. terikat oleh ruang dan waktu, oleh karenanya untuk menguji suatu suatu rekaman yang disandarkan kepada nabi saw. Salah satunya tidak bertentangan dengan sosio historis yang ada pada saat berita itu direkam.
F. Syarat-syarat yang diperlukan pada perawi hadits
Diisyaratkan untuk menerima riwayat para perawi hadits atau khbar yang tidak mutawatir supaya sah kita berhujjah dengannya, ada dua syarat :
1.perawi itu seorang yang adil.
2.perawi itu seorang perawi yang dhabit bagi riwayatmya.
Diperlukan dua syarat ini adalah supaya kita bias mempercayainya terhadap agamanya dan supaya yang diriwayatkan itu dapat dipercayai karena kuat hafalannya, sedikit salahnya dan kelupaannya.
Jika perawi itu banyak salah dan lupa, ditolaklah riwayatnya, terkecuali riwayatnya yang dapat diketahui bahwa dia tidak khilaf dan lupa padanya. Dan jika dia seorang yang tidak banyak, diterimalah riwayatnya, terkecuali riwayat diketahui bahwa perawi itu salah padanya.
Pendapat lain mengatakan bahwa syarat-syarat rawi yaitu :
a)       Bulugh artinya ia sudah baligh menurut ketentuan agama.Artinya bahwa ia  sudah baligh ketika meriwayatkan hadits yang bersangkutan,sekalipun waktu menerimanya masih kecil atau belum mencapai baligh.
b)      Islam.artinya saat ia menyampaikan hadits ia dalam keadaan islam,walaupun waktu menerimanya masih beragama lain.
c)      ‘Adalah.Yakni orang islam,  aqil baligh (berakal) dan tidak terjangkit penyakit gila, juga tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak membiasakan melakukan dosa kecil.
d)     Dhobath.yaitu dapat menangkap apa yang diterima dan didengar,kuat hafalannya dan bukan pelupa,sehingga dimana dan kapan saatnyapun jika diperlukan maka ia dapat mengulang kembali dan menyebutkan hadits yang diterima olehnya itu dengan baik.
e)      Ittishol.yakni bersambung.artinya rowi yang menerima hadits itu bertemu langsung dengan rowi yang diatasnya,jadi seperti rawi G bertemu dengan F,rowi F bertemu dengan rowi E,E bertemu D demikian seterusnya hingga rowi A bertemu sendiri dengan rosulullah saw.
f)       Ghoiru syadz.yakni tidak ganjil.Maksudnya hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits lain yang lebih kuat dan juga tidak berlawanan dengan Al qur’an.
Jalan atau cara untuk mengetahui keadilan dan kedhabitan perawi.
Diketahui bahwa seseorang perawi itu adil, dengan cara berikut ini :
Dengan karena telah terkenal dalam masyarakat bahwa perawi tersebut seorang yang adil, yaitu seperti imam malik, syu’bah, al-auza’i, sufyan ats-tsauri, dan lain-lain.
Dengan disaksikan oleh seorang ahli yang diterima perkataannya, bahwa perawi tersebut seorang yang ahli. Ibnush shalah menetapkan, bahwa perlu dua orang ulama’ untuk untuk mentazkiyahkan seseorang perawi, yakni untuk menerangkan bahwa perawi itu oeang yag adil.
Para ulama’ sependapat bahwa tazkiyah (mengaku keadilan seorang perawi) dari dua orang mengukupi. Mereka berselisih tentang menerima tazkiyah dari seseorang saja. Kebanyakan fuqaha’ ahli madinah, menurut hikayat alqadli abu baker, bahwa adil dan tidaknya (‘adalah dan jarah) tidak dapat ditetapkan dengan tazkiyah (ta’dil) atau tajrih seorang saja. Mereka mengkiaskan dengan syahadah (persaksian).
Diketahui seseorang perawi itu dhabit adalah dengan  mengi’tibarkan riwayat-riwayatnya dengan riwayat – riwayat orang kepercayan yang terkenal kuat ingatan dan bagus hafalan. Jika kita dapati riwayatnya sesuai dalam kebanyakannya, sedang  kesalahannya sedikit, walaupun dari jurusan makna, yakinlah kita bahwa perawi hadits  itu seorang yang dhabit.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
  Menurut bahasa, kata سند (sanad)mengandung kesamaan arti kata طريق (thariq) yaitu jalan atau sandaran. Sedangkan menurut istilah hadis, sanad ialah jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (guru).  Matan hadits, ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah saw, sahabat atau tabi’in.



DAFTAR PUSTAKA
Bustamin dan M.Isa H. A. Salam, Metode Kritik Hadis, JJakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004.
As-siddiqi, Teungku M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009
_____________­­, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1994
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta : Bulan Bintang, 1992
_____________, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung :Penerbit  Angkasa, 1991
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahatul Hadits, Bandung : PT. Alma’arif, 1995
Ulama’I, A. Hasan Asy’ari, Melacak Hadits Nabi saw : Cara Cepat Mencari Hadits Dari Manual Hingga Digital, Semarang : Rasail, 2006





[1] Bustamin dan Salam Isa H.A, Metode Kritik Hadis (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) 5.
[2] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung :Penerbit  Angkasa, 1991), cet. 2, hlm. 17